Pages

Rabu, 05 September 2012

ANTARA REALITA DAN ASA




setiap kita ketemu,gadis kecil berkaleng kecil
senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
tengadah padaku,pada bulan merah jambu
tapi kotaku jadi hilang,tanpa jiwa
                                Puisi Toto Sudarto Bachtiar “Gadis Peminta-minta”

Senyumnya terlalu kekal untuk kenal duka, ya, mereka tidak seharusnya memikul beban berat itu. Berjalan di antara lalu lalang kendaraan. Berharap ada yang memberi mereka uang demi sesuap nasi dan angan-angan.
Keindahan kota Karangasem seakan-akan merefleksikan pula kemakmuran penduduknya. Tapi ternyata tidak, Karangasem masih menyimpan berbagai kisah pelik dunia pendidikan. Data Dispendik Karangasem tahun lalu menyatakan tidak kurang dari 600 orang anak putus sekolah dari jenjang SD sampai SMA/SMK. Penyumbang angka putus sekolah tingkat SMP yang jumlahnya mencapai tidak kurang dari 200 orang berasal dari Kecamatan Kubu. Bahkan menurut Kabid Dikdasmen Dinas Pendidikan Karangasem Drs. I Ketut Sudana, M.Pd., lulusan SMP di Karangasem, ± 1.600 orang tidak melanjutkan ke jenjang SMA/SMK. Sudana tak tahu alasannya. 

“Menggepeng”
 Menggepeng, masih menjadi pilihan utama warga miskin Muntigunung dan Pedahan Karangasem yang tidak sekolah. Dua daerah ini memang disinyalir menjadi sentral para penggepeng yang sebagian banyak ada di daerah Denpasar. Daerah di bilangan Imam Bonjol Denpasar misalnya, menjadi salah satu tempat berteduh para penggepeng-penggepeng tersebut.
Wayan Karina (13) yang ditemui ketika sedang membeli makanan mengaku mengekos bersama tiga saudaranya di kamar berukuran ± 3x3 m² dengan harga 325 ribu per bulan. Harga yang cukup mahal rupanya untuk penghuni setingkat gepeng. “Kami ber-empat iuran untuk membayar kos”, ujar anak Muntigunung ini.
Kemiskinan masih menduduki peringkat pertama alasan mereka mengemis. Namun tidak hanya itu, krisis air pun menjadikan mereka enggan berada di desa mereka sendiri. Merantaunya mereka ke Denpasar dipelopori oleh satu orang dengan iming-iming mendapat banyak uang. Sayang, orang ini sudah tidak diketahui keberadaannya semenjak Wayan merasa bahwa dirinya dirugikan. Sekarang Wayan bersama ketiga saudaranya “berdiri sendiri”. Gadis 13tahun ini sadar bahwa ia akan selalu dibayang-bayangi oleh Tramtib. “Tapi saya tidak takut Tramtib, paling-paling hanya dipulangkan ke daerah asal”, lanjut Wayan.
Gadis berambut panjang ini termasuk pengemis paling tua di antara pengemis lainnya yang tinggal di lokasi yang sama, karena usianya sudah menginjak 13 tahun. Rata-rata pengemis yang tinggal di kawasan itu berusia 11-14 tahun.
            “Orang tua saya tinggal di Munti. Kadang juga menengok ke Denpasar, sesekali. Saya memiliki 4 saudara kandung, dan 5 saudara tiri dari ibu tiri”, kata Wayan sembari tersenyum simpul. Banyak anak, banyak rejeki; pepatah yang mungkin menjadi barometer keluarga Wayan. Kondisi ibu Wayan yang katanya menderita patah tulang pun menjadi point penambah sederet faktor mengapa mereka mengemis “berjama’ah”.
            Wayan menambahkan bahwa daerah operasi mereka adalah seputaran Tuban, bersama-sama naik angkot dan berpencar. Hanya saja, jam “kerja” Wayan jauh lebih pagi dari adik-adiknya. Wayan berangkat pada pukul 10 pagi, sedangkan adik-adiknya biasanya berangkat meminta-minta mulai dari sepulang sekolah pukul 14.00. 

Ingin Sekolah
Ternyata dalam kondisi demikian pun, masih terbesit dalam benak mereka untuk mengenyam bangku sekolah. Sayang, tidak adanya dukungan orang terdekat membuat mereka mengurungkan niat untuk menikmati bangku sekolah formal, belum juga kendala biaya yang dianggap berat. Beruntung, ada orang baik yang membuat sekolah gratis di dekat tempat kos mereka, masih di bilangan Imam Bonjol Denpasar. Tiga dari mereka bersekolah di sekolah gratis ini, kecuali Wayan, karena Wayan merasa dirinya-lah yang paling bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup ketiga adiknya.
Ketika ditanyai perihal cita-cita, satu dari mereka Ketut Dina (11) berkata “aku ingin jadi guru”. Ya, cita-cita mulia seorang gadis peminta-minta. Berbanding terbalik dengan Wayan, gadis cantik berambut panjang ini sama sekali tidak punya cita-cita. Kasian ya, bahkan dia pun tak mengerti nanti jadi apa.
“Tapi tidak banyak yang sekolah disini, hanya beberapa, kurang lebih 10 orang. Susah memang menyadarkan mereka akan pentingnya belajar”, ujar Bu Agus yang rumahnya digunakan untuk sekolah gratis tersebut.
“Kalau saya justru lebih prihatin dengan keadaan mereka yang rentan akan tindak kejahatan. Profesi saya guide, jadi saya tahu betul seluk beluk kawasan Kuta. Ketika ada sekolah gratis pun harusnya juga memiliki pengajar yang berkompeten. Jadi mereka bisa enjoy belajarnya”, ujar Jimmy, anak Bu Agus. 
Ternyata memang banyak faktor yang mengharuskan mereka menggepeng. Terlebih lagi mereka tidak dibekali keterampilan. Bekerja secara layak mungkin hanya impian. Cita-cita mungkin hanya cita-cita, dalam benak semata. Namun apapun alasannya, meminta-minta adalah pekerjaan yang dipandang hina. Agama manapun mengajarkan, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah artinya memberi lebih baik daripada meminta-minta. Maka, dibutuhkan peran berbagai pihak untuk mengatasi persoalan ini. Mari berantas kemiskinan di pulau Dewata tercinta ! (RDY)

0 komentar: