Pages

Jumat, 07 September 2012

Kujaga Bali Lewat Buku ini



Judul buku      : Mandi Api
Penulis             : Gde Aryantha Soethama
Penerbit           : Buku Arti
Cetakan           : II
Tahun terbit     : September 2009
Jumlah halaman : v + 181 halaman

 “Tahu apa kalian tentang warisan? Tentang keterikatan batin kita dengan asal-usul? Ini bukan perkara uang, Wijil. Kalau kalian lancang menjual warisan leluhur, tak lama lagi kau dan kawan-kawanmu akan menjual diri pada turis-turis itu.” (hlm. 39).
Sarat akan protes sosial dan pesan moral, begitulah kesan pertama ketika dihadapkan dengan kumpulan cerpen Mandi Api (MA) ini. Bali mempunyai warisan budaya yang begitu kaya. Warisan leluhur yang wajib dilestarikan dan tidak seharusnya diperjualbelikan demi dollar perolehan turis-turis mancanegara. Kutipan tersebut serasa ‘menang’ mewakili cerpen-cerpen dalam MA.
Sebagai seseorang dengan latar belakang jurnalis, persoalan kritis-mengkritisi bagi Gde Aryantha Soethama bukanlah hal yang sulit. Tanah kelahirannya -- Bali, ternyata menyimpan banyak kisah yang patut dikritisi. Baginya, Bali bukanlah tempat yang indah dan tanpa masalah. MA menyajikan potret budaya Bali dengan segudang konflik yang tak jarang ditimbulkan oleh budaya itu sendiri.
Banyak hal terungkap tentang Bali dari kumpulan cerpen setebal 181 halaman ini. Cerpen Tembok Puri misalnya, persoalan kasta menjadi tema utama. Dalam “Gumatat Gumitit”, Terompong Beruk, dan Lukisan Rinjin, kita diajak menghafal macam-macam kesenian di Bali. Sedangkan persoalan kebudayaan dirangkumnya dalam Bohong, Hari Baik, “Kulkul”. Mandi Api, Mati “Salah Pati”, Pelayat, Seekor Ayam Panggang, dan Surat Nyepi dari Sampit. Beberapa lainnya bercerita tentang budaya Bali yang kian hari kian tergerus oleh kemodernan zaman, misalnya Sawah yang Indah dan Subur, dan Sekarang Dia Bangsawan. MA memberikan pengertian bahwa Bali juga menyimpan banyak realita dibalik keindahannya.
Sungguh bukan hal yang mudah memahami Bali dengan adat-istiadatnya yang begitu rumit. MA tampak sebagai sebuah solusi untuk kita agar bisa memahami Bali lewat sebuah kumpulan cerpen yang dikemas secara gamblang sehingga mudah dipahami oleh semua kalangan. Berkecimpung di dunia jurnalistik bertahun-tahun membuat Gde Aryantha terbiasa menggunakan bahasa yang lugas dan padat, sehingga MA mudah dimengerti. Begitupun makna dari kalimat-kalimatnya yang jelas dan tidak bias karena perumpamaan-perumpaan yang berlebihan. Tak hanya itu, kepiawaiannya mengkombinasikan kata-kata dengan kentalnya budaya Bali hingga tidak terkesan vulgar juga patut diacungi jempol. Lewat buku ini, Gde Aryantha melestarikan Bali. Lewat pesan moral yang disampaikan dalam cerpen-cerpennya. Tak salah rasanya jika kumpulan cerpen ini dianugerahi Khatulistiwa Award 2006 silam.
Semua itu bukan berarti menjadikan MA sebuah kumpulan cerpen yang benar-benar benar. Beberapa kesalahan penulisan luput dari tangan sang editor. Seperti dalam Seekor Ayam Panggang misalnya, bagaimana kata ‘pendapat’ bisa menjadi ‘mendapat’, bagaimana kata ‘mengajar’ bisa menjadi ‘mengejar’, dan kesalahan tersebut nyatanya masih terus diulang-ulang pada cerpen-cerpen lainnya. Kesalahan seperti ini sekilas memang tampak tak berarti, kebanyakan orang pun agaknya memaklumi. Namun satu huruf itu ternyata mampu mengubah makna yang akhirnya membuat makna kalimat menjadi rancu. Perbaikan itu ternyata perlu.
Akhirnya, sebagai bahan ‘timbang-menimbang’, buku ini wajib untuk anda yang ingin tahu bagaimana sesungguhnya Bali. (Ryan Dwi)

0 komentar: