Judul
buku : Mandi Api
Penulis : Gde Aryantha Soethama
Penerbit : Buku Arti
Cetakan : II
Tahun terbit : September 2009
Jumlah halaman : v + 181 halaman
Penulis : Gde Aryantha Soethama
Penerbit : Buku Arti
Cetakan : II
Tahun terbit : September 2009
Jumlah halaman : v + 181 halaman
“Tahu apa kalian
tentang warisan? Tentang keterikatan batin kita dengan asal-usul? Ini bukan
perkara uang, Wijil. Kalau kalian lancang menjual warisan leluhur, tak lama
lagi kau dan kawan-kawanmu akan menjual diri pada turis-turis itu.” (hlm. 39).
Sarat akan
protes sosial dan pesan moral, begitulah kesan pertama ketika dihadapkan dengan
kumpulan cerpen Mandi Api (MA) ini. Bali mempunyai warisan budaya yang begitu
kaya. Warisan leluhur yang wajib dilestarikan dan tidak seharusnya
diperjualbelikan demi dollar perolehan turis-turis mancanegara. Kutipan
tersebut serasa ‘menang’ mewakili cerpen-cerpen dalam MA.
Sebagai seseorang
dengan latar belakang jurnalis, persoalan kritis-mengkritisi bagi Gde Aryantha
Soethama bukanlah hal yang sulit. Tanah kelahirannya -- Bali, ternyata
menyimpan banyak kisah yang patut dikritisi. Baginya, Bali bukanlah tempat yang
indah dan tanpa masalah. MA menyajikan potret budaya Bali dengan segudang
konflik yang tak jarang ditimbulkan oleh budaya itu sendiri.
Banyak hal
terungkap tentang Bali dari kumpulan cerpen setebal 181 halaman ini. Cerpen Tembok Puri misalnya, persoalan kasta
menjadi tema utama. Dalam “Gumatat
Gumitit”, Terompong Beruk, dan Lukisan
Rinjin, kita diajak menghafal macam-macam kesenian di Bali. Sedangkan
persoalan kebudayaan dirangkumnya dalam Bohong,
Hari Baik, “Kulkul”. Mandi Api, Mati “Salah Pati”, Pelayat, Seekor Ayam
Panggang, dan Surat Nyepi dari Sampit.
Beberapa lainnya bercerita tentang budaya Bali yang kian hari kian tergerus
oleh kemodernan zaman, misalnya Sawah
yang Indah dan Subur, dan Sekarang
Dia Bangsawan. MA memberikan pengertian bahwa Bali juga menyimpan banyak
realita dibalik keindahannya.
Sungguh bukan
hal yang mudah memahami Bali dengan adat-istiadatnya yang begitu rumit. MA tampak
sebagai sebuah solusi untuk kita agar bisa memahami Bali lewat sebuah kumpulan
cerpen yang dikemas secara gamblang sehingga mudah dipahami oleh semua kalangan.
Berkecimpung di dunia jurnalistik bertahun-tahun membuat Gde Aryantha terbiasa
menggunakan bahasa yang lugas dan padat, sehingga MA mudah dimengerti. Begitupun
makna dari kalimat-kalimatnya yang jelas dan tidak bias karena
perumpamaan-perumpaan yang berlebihan. Tak hanya itu, kepiawaiannya
mengkombinasikan kata-kata dengan kentalnya budaya Bali hingga tidak terkesan
vulgar juga patut diacungi jempol. Lewat buku ini, Gde Aryantha melestarikan
Bali. Lewat pesan moral yang disampaikan dalam cerpen-cerpennya. Tak salah
rasanya jika kumpulan cerpen ini dianugerahi Khatulistiwa Award 2006 silam.
Semua itu bukan
berarti menjadikan MA sebuah kumpulan cerpen yang benar-benar benar. Beberapa
kesalahan penulisan luput dari tangan sang editor. Seperti dalam Seekor Ayam Panggang misalnya, bagaimana
kata ‘pendapat’ bisa menjadi ‘mendapat’, bagaimana kata ‘mengajar’ bisa menjadi
‘mengejar’, dan kesalahan tersebut nyatanya masih terus diulang-ulang pada cerpen-cerpen
lainnya. Kesalahan seperti ini sekilas memang tampak tak berarti, kebanyakan
orang pun agaknya memaklumi. Namun satu huruf itu ternyata mampu mengubah makna
yang akhirnya membuat makna kalimat menjadi rancu. Perbaikan itu ternyata
perlu.
Akhirnya,
sebagai bahan ‘timbang-menimbang’, buku ini wajib untuk anda yang ingin tahu
bagaimana sesungguhnya Bali. (Ryan Dwi)
0 komentar:
Posting Komentar