Pages

Jumat, 07 September 2012

Lempar Batu Sembunyi Tangan, Tak Mau “Angkat Tangan”



Saldi Isra, seorang guru besar hukum tata negara dan Direktur Pusat Studi Institusi Fakultas Hukum Universitas Andalas ini termasuk penulis opini yang produktif. Sudah banyak tulisannya yang dimuat di media massa semisal Kompas, Media Indonesia, Seputar Indonesia, dan lain-lain. Namun sayang, pembaca kerap kali dibuat pening akan istilah-istilah yang digunakannya.
Bukan karena istilah tersebut salah, hanya penempatannya yang kurang pas. Saya tak habis pikir, bagaimana para tukang becak memaknai artikel yang tidak dimengerti. Bukan hanya tukang becak sepertinya, masih banyak lagi orang lain yang juga tak mengerti. Demikian juga saya, atau bahkan mahasiswa-mahasiswa selain mahasiswa fakultas hukum. Pemahaman saya terbatas pada hal-hal yang saya mengerti.
Berat, satu kata ini sepertinya cukup mewakili tulisan Saldi Isra. Penikmatnya sepertinya terbatas pada kalangan tertentu. Logikanya begini, takkan ada orang yang bisa menikmati kalau ia tak mengerti.
Dan benar saja, tulisan Saldi Isra yang berat itu saya kira tak luput dari latar belakangnya sebagai guru besar hukum tata negara. Pembawaannya yang serius sebagai orang yang berkecimpung di dunia hukum terbawa dalam setiap tulisan-tulisannya.
Sekarang pembahasannya fokus pada satu titik, yakni pada tulisan Saldi Isra yang muncul di Kompas dengan judul Sang Pengeluh (Kompas, 02/4/12). Terlepas dari berbagai kekurangan tulisan Saldi, Sang Pengeluh sudah cukup membuka mata saya akan kepiawaian presiden bersilat lidah. Sang Pengeluh menjadi bukti kebobrokan pemerintah kita. Presiden tak ingin semata-mata disalahkan, ia harus mencari “kawan” agar tidak “tersesat” sendirian.
Semua hanya bisa “lempar batu sembunyi tangan”, saling tuding menuding, saling mengkambinghitamkan tanpa mau “angkat tangan”. Presiden seakan menyalahkan bahwa ini adalah kesalahan kabinetnya. Padahal menurut kacamata saya, kinerja pemerintah itu merupakan tanggung jawab presiden yang notabene adalah si empunya kabinet.
“Keperkasaan” presiden patut dipertanyakan apabila ia justru cuci tangan ketika masalah-masalah menimpa anggota kabinetnya sendiri. Benar kata Saldi Isra bahwa seorang presiden tidak boleh cuci tangan atas kinerja anggota kabinet sendiri.
Presiden seharusnya menyikapi persoalan-persoalan yang demikian dengan bijak, karena yang harus dipikir sekarang bukanlah perkara benar-salah, melainkan mencari sebuah jalan tengah. Jalan tengah yang harus dipecahkan oleh presiden beserta jajarannya. Tidak semata-mata reshuffle dan semua masalah dianggap selesai. Ini sama saja seperti “gali lubang tutup lubang”, tegasnya menyelesaikan perkara lama dengan perkara baru.
Seperti dalam berbagai kejadian, presiden enggan menjadi orang yang berada di garis paling depan untuk mengambil kebijakan. Saya rasa situasi yang demikian ini adalah “tempat paling aman” untuk bersembunyi ketika disalahkan.
Orang di dunia hukum seperti Saldi Isra mungkin lebih mengerti akan pasal-pasal yang bahkan sudah dihafal dan mengkaji permasalahan ini berdasarkan perundang-undangan seperti dalam Sang Pengeluh.
Opini Saldi Isra sudah cukup mewakili perasaan masyarakat, bahwa mereka tak lagi ingin dibuat bingung oleh kinerja pemerintah.
Miris rasanya mengamati tingkah polah pemerintahan yang demikian. Kami katakan bahwa kami takut, takut sekali, takut kalau suatu saat nanti kami enggan menghuni negeri sendiri. (RDY)

Ditulis untuk kepentingan tugas mata kuliah jurnalistik

0 komentar: