Saldi Isra, seorang
guru besar hukum tata negara dan Direktur Pusat Studi Institusi Fakultas Hukum
Universitas Andalas ini termasuk penulis opini yang produktif. Sudah banyak
tulisannya yang dimuat di media massa semisal Kompas, Media Indonesia, Seputar Indonesia, dan lain-lain. Namun
sayang, pembaca kerap kali dibuat pening akan istilah-istilah yang
digunakannya.
Bukan karena istilah
tersebut salah, hanya penempatannya yang kurang pas. Saya tak habis pikir,
bagaimana para tukang becak memaknai artikel yang tidak dimengerti. Bukan hanya
tukang becak sepertinya, masih banyak lagi orang lain yang juga tak mengerti.
Demikian juga saya, atau bahkan mahasiswa-mahasiswa selain mahasiswa fakultas
hukum. Pemahaman saya terbatas pada hal-hal yang saya mengerti.
Berat, satu kata ini
sepertinya cukup mewakili tulisan Saldi Isra. Penikmatnya sepertinya terbatas
pada kalangan tertentu. Logikanya begini, takkan ada orang yang bisa menikmati
kalau ia tak mengerti.
Dan benar saja, tulisan
Saldi Isra yang berat itu saya kira tak luput dari latar belakangnya sebagai guru
besar hukum tata negara. Pembawaannya yang serius sebagai orang yang
berkecimpung di dunia hukum terbawa dalam setiap tulisan-tulisannya.
Sekarang pembahasannya
fokus pada satu titik, yakni pada tulisan Saldi Isra yang muncul di Kompas dengan judul Sang Pengeluh (Kompas, 02/4/12). Terlepas dari berbagai kekurangan tulisan Saldi, Sang Pengeluh sudah cukup membuka mata
saya akan kepiawaian presiden bersilat lidah. Sang Pengeluh menjadi bukti kebobrokan pemerintah kita. Presiden
tak ingin semata-mata disalahkan, ia harus mencari “kawan” agar tidak
“tersesat” sendirian.
Semua hanya bisa
“lempar batu sembunyi tangan”, saling tuding menuding, saling
mengkambinghitamkan tanpa mau “angkat tangan”. Presiden seakan menyalahkan
bahwa ini adalah kesalahan kabinetnya. Padahal menurut kacamata saya, kinerja
pemerintah itu merupakan tanggung jawab presiden yang notabene adalah si empunya kabinet.
“Keperkasaan” presiden
patut dipertanyakan apabila ia justru cuci tangan ketika masalah-masalah
menimpa anggota kabinetnya sendiri. Benar kata Saldi Isra bahwa seorang
presiden tidak boleh cuci tangan atas kinerja anggota kabinet sendiri.
Presiden seharusnya
menyikapi persoalan-persoalan yang demikian dengan bijak, karena yang harus
dipikir sekarang bukanlah perkara benar-salah, melainkan mencari sebuah jalan
tengah. Jalan tengah yang harus dipecahkan oleh presiden beserta jajarannya.
Tidak semata-mata reshuffle dan semua
masalah dianggap selesai. Ini sama saja seperti “gali lubang tutup lubang”,
tegasnya menyelesaikan perkara lama dengan perkara baru.
Seperti dalam berbagai
kejadian, presiden enggan menjadi orang yang berada di garis paling depan untuk
mengambil kebijakan. Saya rasa situasi yang demikian ini adalah “tempat paling
aman” untuk bersembunyi ketika disalahkan.
Orang di dunia hukum seperti
Saldi Isra mungkin lebih mengerti akan pasal-pasal yang bahkan sudah dihafal
dan mengkaji permasalahan ini berdasarkan perundang-undangan seperti dalam Sang Pengeluh.
Opini Saldi Isra sudah
cukup mewakili perasaan masyarakat, bahwa mereka tak lagi ingin dibuat bingung
oleh kinerja pemerintah.
Miris rasanya mengamati
tingkah polah pemerintahan yang demikian. Kami katakan bahwa kami takut, takut
sekali, takut kalau suatu saat nanti kami enggan menghuni negeri sendiri. (RDY)
Ditulis untuk kepentingan tugas mata kuliah jurnalistik
0 komentar:
Posting Komentar