Pages

Jumat, 07 September 2012

Pelangi Malam Minggu



Malam minggu, kata orang waktu yang panjang untuk pacaran. Tapi tidak untukku.  Dua tahun sudah aku berpacaran dengannya dan selama itu pula aku tidak pernah merasakan asyiknya bermalam mingguan berdua. Ya, cintaku dan dia memang tidak pernah direstui oleh orang tuaku entah karena apa. Tetapi alasan mereka tak pernah mampu buatku mengakhiri hubungan ini, karena aku tak cukup puas dengan apa yang mereka katakan. “Dia anak broken home sayang, takkan mampu membuatmu bahagia”, tutur Mama lembut tapi mengena. Namun sejauh ini aku masih merasa bahagia dengannya. “Ma, aku anggap diriku sudah dewasa dan aku ingin mama juga beranggapan demikian. Pun ketika aku harus menentukan pasangan hidupku ma”, kataku membela.
Dilema. Satu kata yang cukup mewakili ceritaku bersamanya. Sama seperti malam minggu lainnya, malam ini pun aku harus lewati sendiri tanpa dia. Tapi malam minggu ini berbeda. Ketika sekuntum bucket bunga mawar merah hadir di pagar tembok belakang rumah. Aku takut aku salah mengira, aku takut aku salah menduga, dan aku pun takut aku salah menerima. Perlahan aku baca kartu yang diselipkan pengirimnya. “Cinta, aku tau rangkaian bunga ini tak cukup mampu menghapus kesedihanmu. Tapi paling tidak, mawar merah ini datang sebagai pengganti hadirku di malam minggu”, begitu bunyinya. Bulir air mata menetes di pipiku, sepertinya dia merasakan apa yang aku rasa malam itu.
“Bunga dari siapa itu?”, teriak mama membuyarkan lamunanku. Sontak aku menyembunyikan bunga itu di balik punggungku. “ehh ehh bukan dari siapa-siapa (terbata-bata)”, jawabku. “Kamu tau nak, bucket bunga seperti itu masih belum cukup untuk meminangmu. Coba kamu lihat toko-toko bunga di depan sana, banyak bunga seperti itu. Nothing special”, mama mengeluarkan statement yang aneh di pendengaran. Sepertinya rangkaian kata-kata dalam otakku tidak cukup kuat tuk melawannya. Ya sudahlah, biarkan semua mengalir apa adanya. Aku yakin semua akan indah pada waktunya.
“Malam mbak, ada bingkisan dari seseorang ni” kata orang di depan rumah. “makasih mas”, jawabku. Di bungkus kadonya tertulis “ini kado bukan kado biasa, ucap basmalah ketika membukanya J. Aku tau ini dari dia, itu hanya alasan dia untuk menghiburku yang galau setiap malam minggu. Toeng toeng toeng, boneka badut dengan pegas yang mental ketika aku buka. Pantas saja dia menyuruhku mengucap basmalah, abis kadonya mengagetkan.
Bermacam-macam bingkisan dan bermacam-macam bunga dikirimnya untukku setiap malam minggu, ya setiap malam minggu. Tak lain dan tak bukan karena kami memang tak pernah bertemu, sebagai pengganti hadirnya pada malam minggu.
  Tapi kali ini tidak. Sudah tiga malam minggu aku tidak menjumpai bingkisan ataupun bunga dari dirinya. Ada yang aneh. Kenapa? Hatiku dipenuhi prasangka. Ya Tuhan, ada apa dengan dirinya. “Bu, mengapa aku tak pernah lagi melihat pelangi itu di malam minggu?” sms ini kukirimkan pada ibu, ibu kekasihku.
Ibunya baru membalas smsku tiga hari setelah itu, “cintanya padamu perlahan membuatnya rapuh nak, kerinduannya padamu seolah mencabik-cabik tubuhnya yang memang sudah kurus kering sejak berapa bulan yang lalu. Kini ia terbaring di rumah sakit bersama mawar putih yang tak sempat dikirimnya tiga minggu lalu. Terlebih sms yang dikirim mamamu waktu itu, membuatnya semakin merasa tak cukup kuat untuk berdiri. Datangi anakku nak, sekali ini saja, buat ia merasa bahagia ada di pelukanmu saat malam minggu”. Berakhir membaca sms itu hatiku merasa hancur berkeping-keping. Malam minggu itu besok, satu hari lagi. Aku harus berupaya keluar dari rumah ini untuk menjenguknya, otakku berkecamuk, “harus bisa”. Ternyata alasanku tak sia-sia, alasanku berhasil meyakinkan mereka dan aku boleh keluar malam minggu itu.
“bu, gimana keadaan kekasihku?”, kataku menyapa sang ibu yang sedang gelisah di ruang tunggu. “masuk saja nak, dokter sedang memeriksa kekasihmu”, jawab ibu. Aku masuk ke ruangan bernama hewan nomor 21. Kulihat kekasihku terbaring lemah di sudut ruangan itu. kupanggil namanya, kupeluk dia. “Ini aku sayang, aku kekasihmu”, ucapku sambil memeluknya. Dia terbangun mendengar suaraku. “lihat bunga itu sayang, itu bunga yang tak sempat aku berikan pada malam minggu yang kamu tunggu-tunggu waktu itu”, tuturnya sembari memandangi mawar putih yang sudah layu.
“iya aku tau sayang, mawar itu masih kau simpan saja kenapa?sampai selayu itu?”, tanyaku padanya. “karena mawar itu akan menjadi mawar terakhir yang pernah aku berikan untukmu di malam minggu. Mamamu mengancamku agar aku tak mendekatimu lagi sayang jika aku belum memenuhi syarat yang dia inginkan. Aku takut kamu kenapa-napa jika aku nekat mempersuntingmu. Bersabar ya sayang, aku janji akan mempersuntingmu pada malam minggu bulan Januari tahun depan, tepat ketika ulang tahunmu. Malam minggu itu adalah malam terindah penuh kenangan untuk kita suatu saat nanti. Nantikan lagi kembalinya pelangi malam minggu bulan Januari tahun depan. Aku janji”.

                                                                                                siAPa,
Kunantikan pelangimu pada malam minggu lainnya
         Dps. 07112011, 21.05

Lempar Batu Sembunyi Tangan, Tak Mau “Angkat Tangan”



Saldi Isra, seorang guru besar hukum tata negara dan Direktur Pusat Studi Institusi Fakultas Hukum Universitas Andalas ini termasuk penulis opini yang produktif. Sudah banyak tulisannya yang dimuat di media massa semisal Kompas, Media Indonesia, Seputar Indonesia, dan lain-lain. Namun sayang, pembaca kerap kali dibuat pening akan istilah-istilah yang digunakannya.
Bukan karena istilah tersebut salah, hanya penempatannya yang kurang pas. Saya tak habis pikir, bagaimana para tukang becak memaknai artikel yang tidak dimengerti. Bukan hanya tukang becak sepertinya, masih banyak lagi orang lain yang juga tak mengerti. Demikian juga saya, atau bahkan mahasiswa-mahasiswa selain mahasiswa fakultas hukum. Pemahaman saya terbatas pada hal-hal yang saya mengerti.
Berat, satu kata ini sepertinya cukup mewakili tulisan Saldi Isra. Penikmatnya sepertinya terbatas pada kalangan tertentu. Logikanya begini, takkan ada orang yang bisa menikmati kalau ia tak mengerti.
Dan benar saja, tulisan Saldi Isra yang berat itu saya kira tak luput dari latar belakangnya sebagai guru besar hukum tata negara. Pembawaannya yang serius sebagai orang yang berkecimpung di dunia hukum terbawa dalam setiap tulisan-tulisannya.
Sekarang pembahasannya fokus pada satu titik, yakni pada tulisan Saldi Isra yang muncul di Kompas dengan judul Sang Pengeluh (Kompas, 02/4/12). Terlepas dari berbagai kekurangan tulisan Saldi, Sang Pengeluh sudah cukup membuka mata saya akan kepiawaian presiden bersilat lidah. Sang Pengeluh menjadi bukti kebobrokan pemerintah kita. Presiden tak ingin semata-mata disalahkan, ia harus mencari “kawan” agar tidak “tersesat” sendirian.
Semua hanya bisa “lempar batu sembunyi tangan”, saling tuding menuding, saling mengkambinghitamkan tanpa mau “angkat tangan”. Presiden seakan menyalahkan bahwa ini adalah kesalahan kabinetnya. Padahal menurut kacamata saya, kinerja pemerintah itu merupakan tanggung jawab presiden yang notabene adalah si empunya kabinet.
“Keperkasaan” presiden patut dipertanyakan apabila ia justru cuci tangan ketika masalah-masalah menimpa anggota kabinetnya sendiri. Benar kata Saldi Isra bahwa seorang presiden tidak boleh cuci tangan atas kinerja anggota kabinet sendiri.
Presiden seharusnya menyikapi persoalan-persoalan yang demikian dengan bijak, karena yang harus dipikir sekarang bukanlah perkara benar-salah, melainkan mencari sebuah jalan tengah. Jalan tengah yang harus dipecahkan oleh presiden beserta jajarannya. Tidak semata-mata reshuffle dan semua masalah dianggap selesai. Ini sama saja seperti “gali lubang tutup lubang”, tegasnya menyelesaikan perkara lama dengan perkara baru.
Seperti dalam berbagai kejadian, presiden enggan menjadi orang yang berada di garis paling depan untuk mengambil kebijakan. Saya rasa situasi yang demikian ini adalah “tempat paling aman” untuk bersembunyi ketika disalahkan.
Orang di dunia hukum seperti Saldi Isra mungkin lebih mengerti akan pasal-pasal yang bahkan sudah dihafal dan mengkaji permasalahan ini berdasarkan perundang-undangan seperti dalam Sang Pengeluh.
Opini Saldi Isra sudah cukup mewakili perasaan masyarakat, bahwa mereka tak lagi ingin dibuat bingung oleh kinerja pemerintah.
Miris rasanya mengamati tingkah polah pemerintahan yang demikian. Kami katakan bahwa kami takut, takut sekali, takut kalau suatu saat nanti kami enggan menghuni negeri sendiri. (RDY)

Ditulis untuk kepentingan tugas mata kuliah jurnalistik

Ini Bukti Cinta Kami pada “Binatang Jalang”



Senin, 30 April 2012 mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana menyelenggarakan seminar dalam rangka memperingati  hari Chairil Anwar. Seminar yang bertajuk “Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi bersama Chairil Anwar” ini diikuti oleh semua mahasiswa Sastra Indonesia dan beberapa siswa dari berbagai SMA di wilayah Denpasar. Tak hanya itu, seminar ini juga membedah buku karya Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. yang berjudul “Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif”.
Secara umum, acara ini bertujuan untuk memperkenalkan jurusan Sastra Indonesia kepada khalayak khususnya siswa-siswa SMA yang akan melanjutkan kuliah di PTN UNUD dan juga untuk mengenang 63 tahun kematian penyair kondang Chairil Anwar. Siapa yang tak kenal Chairil Anwar? Sastrawan angkatan ’45 ini termasuk sastrawan yang sangat dielu-elukan pada masanya. Sajak “Aku” adalah karyanya yang paling fenomenal.
“Semangat juang Chairil Anwar harus diaplikasikan, spirit beliau pun tak boleh diabaikan”, ujar Dekan Fakultas Sastra dalam sambutannya. Respon baik juga diungkapkan Dekan Fakultas Sastra terhadap acara ini. Menurutnya, acara-acara seperti ini harus terus dilestarikan.
            Antusiasme peserta seminar ini patut diacungi jempol. “Musikalisasi puisinya asyik, ada doorprize-nya juga”, ujar Rike, salah satu peserta seminar. Memang, perform mahasiswa Sastra Indonesia semester 4 terbilang sangat mengesankan. Perform inilah yang membuat seminar ini semakin menarik. Spirit Chairil Anwar sungguh terasa ketika puisi “Aku” mulai dibaca.
            “Ini bukan semata-mata seminar yang tak berarti, ditinggal pulang dan tak dikenang. Acara ini merupakan persembahan dan penghargaan serta bukti cinta kami kepada karya-karya “Si Binatang Jalang” yang tak pernah berhenti menginspirasi kami”, ujar Ketua Panitia acara ini. Rangkaian acara ditutup dengan pembagian doorprize berupa tujuh buah buku Antropologi Sastra karya Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna melalui proses pengundian. Semoga Chairil Anwar selalu di hati. (ryan)

Kujaga Bali Lewat Buku ini



Judul buku      : Mandi Api
Penulis             : Gde Aryantha Soethama
Penerbit           : Buku Arti
Cetakan           : II
Tahun terbit     : September 2009
Jumlah halaman : v + 181 halaman

 “Tahu apa kalian tentang warisan? Tentang keterikatan batin kita dengan asal-usul? Ini bukan perkara uang, Wijil. Kalau kalian lancang menjual warisan leluhur, tak lama lagi kau dan kawan-kawanmu akan menjual diri pada turis-turis itu.” (hlm. 39).
Sarat akan protes sosial dan pesan moral, begitulah kesan pertama ketika dihadapkan dengan kumpulan cerpen Mandi Api (MA) ini. Bali mempunyai warisan budaya yang begitu kaya. Warisan leluhur yang wajib dilestarikan dan tidak seharusnya diperjualbelikan demi dollar perolehan turis-turis mancanegara. Kutipan tersebut serasa ‘menang’ mewakili cerpen-cerpen dalam MA.
Sebagai seseorang dengan latar belakang jurnalis, persoalan kritis-mengkritisi bagi Gde Aryantha Soethama bukanlah hal yang sulit. Tanah kelahirannya -- Bali, ternyata menyimpan banyak kisah yang patut dikritisi. Baginya, Bali bukanlah tempat yang indah dan tanpa masalah. MA menyajikan potret budaya Bali dengan segudang konflik yang tak jarang ditimbulkan oleh budaya itu sendiri.
Banyak hal terungkap tentang Bali dari kumpulan cerpen setebal 181 halaman ini. Cerpen Tembok Puri misalnya, persoalan kasta menjadi tema utama. Dalam “Gumatat Gumitit”, Terompong Beruk, dan Lukisan Rinjin, kita diajak menghafal macam-macam kesenian di Bali. Sedangkan persoalan kebudayaan dirangkumnya dalam Bohong, Hari Baik, “Kulkul”. Mandi Api, Mati “Salah Pati”, Pelayat, Seekor Ayam Panggang, dan Surat Nyepi dari Sampit. Beberapa lainnya bercerita tentang budaya Bali yang kian hari kian tergerus oleh kemodernan zaman, misalnya Sawah yang Indah dan Subur, dan Sekarang Dia Bangsawan. MA memberikan pengertian bahwa Bali juga menyimpan banyak realita dibalik keindahannya.
Sungguh bukan hal yang mudah memahami Bali dengan adat-istiadatnya yang begitu rumit. MA tampak sebagai sebuah solusi untuk kita agar bisa memahami Bali lewat sebuah kumpulan cerpen yang dikemas secara gamblang sehingga mudah dipahami oleh semua kalangan. Berkecimpung di dunia jurnalistik bertahun-tahun membuat Gde Aryantha terbiasa menggunakan bahasa yang lugas dan padat, sehingga MA mudah dimengerti. Begitupun makna dari kalimat-kalimatnya yang jelas dan tidak bias karena perumpamaan-perumpaan yang berlebihan. Tak hanya itu, kepiawaiannya mengkombinasikan kata-kata dengan kentalnya budaya Bali hingga tidak terkesan vulgar juga patut diacungi jempol. Lewat buku ini, Gde Aryantha melestarikan Bali. Lewat pesan moral yang disampaikan dalam cerpen-cerpennya. Tak salah rasanya jika kumpulan cerpen ini dianugerahi Khatulistiwa Award 2006 silam.
Semua itu bukan berarti menjadikan MA sebuah kumpulan cerpen yang benar-benar benar. Beberapa kesalahan penulisan luput dari tangan sang editor. Seperti dalam Seekor Ayam Panggang misalnya, bagaimana kata ‘pendapat’ bisa menjadi ‘mendapat’, bagaimana kata ‘mengajar’ bisa menjadi ‘mengejar’, dan kesalahan tersebut nyatanya masih terus diulang-ulang pada cerpen-cerpen lainnya. Kesalahan seperti ini sekilas memang tampak tak berarti, kebanyakan orang pun agaknya memaklumi. Namun satu huruf itu ternyata mampu mengubah makna yang akhirnya membuat makna kalimat menjadi rancu. Perbaikan itu ternyata perlu.
Akhirnya, sebagai bahan ‘timbang-menimbang’, buku ini wajib untuk anda yang ingin tahu bagaimana sesungguhnya Bali. (Ryan Dwi)

Rabu, 05 September 2012

ANTARA REALITA DAN ASA




setiap kita ketemu,gadis kecil berkaleng kecil
senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
tengadah padaku,pada bulan merah jambu
tapi kotaku jadi hilang,tanpa jiwa
                                Puisi Toto Sudarto Bachtiar “Gadis Peminta-minta”

Senyumnya terlalu kekal untuk kenal duka, ya, mereka tidak seharusnya memikul beban berat itu. Berjalan di antara lalu lalang kendaraan. Berharap ada yang memberi mereka uang demi sesuap nasi dan angan-angan.
Keindahan kota Karangasem seakan-akan merefleksikan pula kemakmuran penduduknya. Tapi ternyata tidak, Karangasem masih menyimpan berbagai kisah pelik dunia pendidikan. Data Dispendik Karangasem tahun lalu menyatakan tidak kurang dari 600 orang anak putus sekolah dari jenjang SD sampai SMA/SMK. Penyumbang angka putus sekolah tingkat SMP yang jumlahnya mencapai tidak kurang dari 200 orang berasal dari Kecamatan Kubu. Bahkan menurut Kabid Dikdasmen Dinas Pendidikan Karangasem Drs. I Ketut Sudana, M.Pd., lulusan SMP di Karangasem, ± 1.600 orang tidak melanjutkan ke jenjang SMA/SMK. Sudana tak tahu alasannya. 

“Menggepeng”
 Menggepeng, masih menjadi pilihan utama warga miskin Muntigunung dan Pedahan Karangasem yang tidak sekolah. Dua daerah ini memang disinyalir menjadi sentral para penggepeng yang sebagian banyak ada di daerah Denpasar. Daerah di bilangan Imam Bonjol Denpasar misalnya, menjadi salah satu tempat berteduh para penggepeng-penggepeng tersebut.
Wayan Karina (13) yang ditemui ketika sedang membeli makanan mengaku mengekos bersama tiga saudaranya di kamar berukuran ± 3x3 m² dengan harga 325 ribu per bulan. Harga yang cukup mahal rupanya untuk penghuni setingkat gepeng. “Kami ber-empat iuran untuk membayar kos”, ujar anak Muntigunung ini.
Kemiskinan masih menduduki peringkat pertama alasan mereka mengemis. Namun tidak hanya itu, krisis air pun menjadikan mereka enggan berada di desa mereka sendiri. Merantaunya mereka ke Denpasar dipelopori oleh satu orang dengan iming-iming mendapat banyak uang. Sayang, orang ini sudah tidak diketahui keberadaannya semenjak Wayan merasa bahwa dirinya dirugikan. Sekarang Wayan bersama ketiga saudaranya “berdiri sendiri”. Gadis 13tahun ini sadar bahwa ia akan selalu dibayang-bayangi oleh Tramtib. “Tapi saya tidak takut Tramtib, paling-paling hanya dipulangkan ke daerah asal”, lanjut Wayan.
Gadis berambut panjang ini termasuk pengemis paling tua di antara pengemis lainnya yang tinggal di lokasi yang sama, karena usianya sudah menginjak 13 tahun. Rata-rata pengemis yang tinggal di kawasan itu berusia 11-14 tahun.
            “Orang tua saya tinggal di Munti. Kadang juga menengok ke Denpasar, sesekali. Saya memiliki 4 saudara kandung, dan 5 saudara tiri dari ibu tiri”, kata Wayan sembari tersenyum simpul. Banyak anak, banyak rejeki; pepatah yang mungkin menjadi barometer keluarga Wayan. Kondisi ibu Wayan yang katanya menderita patah tulang pun menjadi point penambah sederet faktor mengapa mereka mengemis “berjama’ah”.
            Wayan menambahkan bahwa daerah operasi mereka adalah seputaran Tuban, bersama-sama naik angkot dan berpencar. Hanya saja, jam “kerja” Wayan jauh lebih pagi dari adik-adiknya. Wayan berangkat pada pukul 10 pagi, sedangkan adik-adiknya biasanya berangkat meminta-minta mulai dari sepulang sekolah pukul 14.00. 

Ingin Sekolah
Ternyata dalam kondisi demikian pun, masih terbesit dalam benak mereka untuk mengenyam bangku sekolah. Sayang, tidak adanya dukungan orang terdekat membuat mereka mengurungkan niat untuk menikmati bangku sekolah formal, belum juga kendala biaya yang dianggap berat. Beruntung, ada orang baik yang membuat sekolah gratis di dekat tempat kos mereka, masih di bilangan Imam Bonjol Denpasar. Tiga dari mereka bersekolah di sekolah gratis ini, kecuali Wayan, karena Wayan merasa dirinya-lah yang paling bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup ketiga adiknya.
Ketika ditanyai perihal cita-cita, satu dari mereka Ketut Dina (11) berkata “aku ingin jadi guru”. Ya, cita-cita mulia seorang gadis peminta-minta. Berbanding terbalik dengan Wayan, gadis cantik berambut panjang ini sama sekali tidak punya cita-cita. Kasian ya, bahkan dia pun tak mengerti nanti jadi apa.
“Tapi tidak banyak yang sekolah disini, hanya beberapa, kurang lebih 10 orang. Susah memang menyadarkan mereka akan pentingnya belajar”, ujar Bu Agus yang rumahnya digunakan untuk sekolah gratis tersebut.
“Kalau saya justru lebih prihatin dengan keadaan mereka yang rentan akan tindak kejahatan. Profesi saya guide, jadi saya tahu betul seluk beluk kawasan Kuta. Ketika ada sekolah gratis pun harusnya juga memiliki pengajar yang berkompeten. Jadi mereka bisa enjoy belajarnya”, ujar Jimmy, anak Bu Agus. 
Ternyata memang banyak faktor yang mengharuskan mereka menggepeng. Terlebih lagi mereka tidak dibekali keterampilan. Bekerja secara layak mungkin hanya impian. Cita-cita mungkin hanya cita-cita, dalam benak semata. Namun apapun alasannya, meminta-minta adalah pekerjaan yang dipandang hina. Agama manapun mengajarkan, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah artinya memberi lebih baik daripada meminta-minta. Maka, dibutuhkan peran berbagai pihak untuk mengatasi persoalan ini. Mari berantas kemiskinan di pulau Dewata tercinta ! (RDY)