Pages

Jumat, 11 November 2011

PENGEMIS BALITA DI TENGAH HIRUK PIKUK PASAR KOTA






Denpasar,
Pasar Badung, sebuah pasar tradisional terbesar yang terletak di central kota Denpasar agaknya sangat miris ketika di dalamnya terlihat betapa manusia dikendalikan oleh uang. Bahkan balita pun ikut ambil andil di dalamnya. Balita-balita yang seharusnya mendapat perhatian dan kasih sayang, harus bergelut dengan bau tak sedap pasar. Berkejar-kejaran demi mendapatkan belas kasihan dan tentunya ‘uang’.

Betapa kagetnya saya ketika mendapati beberapa balita yang menarik-narik baju saya untuk meminta uang (mengemis, kasarnya). “Untuk apa kamu lakukan itu dek ?” pikirku dalam hati. Setelah mencoba merayunya dengan iming-iming uang 5000 rupiah, saya pun berhasil mendapat beberapa patah kata dari mulutnya yang sedikit gagu. Bukan sedikit tapi memang gagu.
Ketika saya mulai bertanya perihal identitas, dia menjawabnya dengan terbata-bata, ya karena ia gagu. Tapi saya mengerti dan bisa menangkap apa yang ia katakan. “Nama saya Nengah”, itulah kalimat pertama yang ia ucapkan. Ketika ditanyai umurnya berapa, ia menjawab tidak tahu lalu menjawabnya sesuka hati “dua tahun” katanya, masih tetap dengan nada gagunya. ‘Itu bukan anak umur dua tahun’, batinku. Mungkin kurang lebih empat tahun umurnya. Ia bercerita bahwa ia tinggal bersama kakaknya di daerah Pemedilan karena orang tuanya berada di kampung. Saya tidak tau mengapa kakaknya tega membiarkan adiknya mengemis padahal ia bilang kakaknya juga sudah berpenghasilan. Entah karena fisik Nengah yang kurang sempurna atau karena himpitan ekonomi. Fisik Nengah memang tidak sempurna, selain karena bicaranya gagu, matanya juga tidak normal sebelah. Seperti layaknya anak-anak lain ia pun ingin mendapatkan kasih sayang dan belaian lembut keluarganya. Tapi lagi lagi betapa saya dicengangkan oleh statementnya yang demikian “saya tidak ingin sekolah”. Ketika kembali ditanyai tentang jawabannya itu, ia diam. Bagaimana generasi sekarang bisa maju ya? Dibekali pengertian pun tidak, bahwa sekolah itu penting.
            Nengah bukan satu-satunya pengemis balita yang saya temui disana, beberapa balita pun saya lihat berlalu lalang menengadahkan tangan. Termasuk Kadek Komang yang sekilas sempat saya tanyai namanya. Kadek Komang berdandan ala cowok (padahal cewek) dengan satu kresek di tangan kirinya yang berfungsi menampung uang-uang hasil mengemisnya. 

Himpitan ekonomi serta ketiadaan orang tua Nengah seolah memaksa Nengah berada dalam lingkaran api yang kapanpun bisa melahapnya. Komang memang masih lebih beruntung ketimbang Nengah, Komang masih bisa bersua dengan orang tuanya sekalipun harus melakoni profesi mengemis setiap harinya. Ya, mengemis buat Komang adalah profesi yang menghasilkan uang. Uang, lagi-lagi uang. Di usia sedini itu sampai-sampai untuk sekolah pun mereka tidak mau. Hanya uang yang mereka inginkan, modal tangan dapat uang. Sungguh mengenaskan. Kemiskinan membuat mereka diperdaya oleh uang, apapun mereka lakukan demi uang. Uang, oh uang, pesonamu telah membutakan mereka! Ajaib ya ?!!? (rdy)

3 komentar:

bama mengatakan...

wah seorang sastrawan bener,, sampai menguak sisi kehidupan seorang pengemis

RyanDwi mengatakan...

makasi mas bama, :D

bama mengatakan...

Same2