Denpasar,
Pasar
Badung, sebuah pasar tradisional terbesar yang terletak di central kota
Denpasar agaknya sangat miris ketika di dalamnya terlihat betapa manusia
dikendalikan oleh uang. Bahkan balita pun ikut ambil andil di dalamnya.
Balita-balita yang seharusnya mendapat perhatian dan kasih sayang, harus
bergelut dengan bau tak sedap pasar. Berkejar-kejaran demi mendapatkan belas
kasihan dan tentunya ‘uang’.
Betapa kagetnya saya ketika mendapati beberapa balita yang
menarik-narik baju saya untuk meminta uang (mengemis, kasarnya). “Untuk apa
kamu lakukan itu dek ?” pikirku dalam hati. Setelah mencoba merayunya dengan
iming-iming uang 5000 rupiah, saya pun berhasil mendapat beberapa patah kata dari
mulutnya yang sedikit gagu. Bukan sedikit tapi memang gagu.
Ketika saya mulai bertanya perihal identitas, dia menjawabnya dengan
terbata-bata, ya karena ia gagu. Tapi saya mengerti dan bisa menangkap apa yang
ia katakan. “Nama saya Nengah”, itulah kalimat pertama yang ia ucapkan. Ketika ditanyai
umurnya berapa, ia menjawab tidak tahu lalu menjawabnya sesuka hati “dua tahun”
katanya, masih tetap dengan nada gagunya. ‘Itu bukan anak umur dua tahun’,
batinku. Mungkin kurang lebih empat tahun umurnya. Ia bercerita bahwa ia
tinggal bersama kakaknya di daerah Pemedilan karena orang tuanya berada di
kampung. Saya tidak tau mengapa kakaknya tega membiarkan adiknya mengemis
padahal ia bilang kakaknya juga sudah berpenghasilan. Entah karena fisik Nengah
yang kurang sempurna atau karena himpitan ekonomi. Fisik Nengah memang tidak sempurna,
selain karena bicaranya gagu, matanya juga tidak normal sebelah. Seperti
layaknya anak-anak lain ia pun ingin mendapatkan kasih sayang dan belaian
lembut keluarganya. Tapi lagi lagi betapa saya dicengangkan oleh statementnya
yang demikian “saya tidak ingin sekolah”. Ketika kembali ditanyai tentang
jawabannya itu, ia diam. Bagaimana generasi sekarang bisa maju ya? Dibekali
pengertian pun tidak, bahwa sekolah itu penting.
Nengah bukan satu-satunya pengemis
balita yang saya temui disana, beberapa balita pun saya lihat berlalu lalang
menengadahkan tangan. Termasuk Kadek Komang yang sekilas sempat saya tanyai
namanya. Kadek Komang berdandan ala cowok (padahal cewek) dengan satu kresek di
tangan kirinya yang berfungsi menampung uang-uang hasil mengemisnya.
Himpitan ekonomi serta ketiadaan orang tua Nengah seolah memaksa
Nengah berada dalam lingkaran api yang kapanpun bisa melahapnya. Komang memang
masih lebih beruntung ketimbang Nengah, Komang masih bisa bersua dengan orang
tuanya sekalipun harus melakoni profesi mengemis setiap harinya. Ya, mengemis
buat Komang adalah profesi yang menghasilkan uang. Uang, lagi-lagi uang. Di
usia sedini itu sampai-sampai untuk sekolah pun mereka tidak mau. Hanya uang
yang mereka inginkan, modal tangan dapat uang. Sungguh mengenaskan. Kemiskinan
membuat mereka diperdaya oleh uang, apapun mereka lakukan demi uang. Uang, oh uang,
pesonamu telah membutakan mereka! Ajaib ya ?!!? (rdy)
3 komentar:
wah seorang sastrawan bener,, sampai menguak sisi kehidupan seorang pengemis
makasi mas bama, :D
Same2
Posting Komentar